Sabtu, 15 April 2017

(ada apa dengan cinta) Romansa cinta yang kembali menggelora

Jika berbicara soal kans seorang naik jadi ketua lembaga atau karier nya di kampus, ayo deh. Tapi kalo lu ngajak ngobrol gua soal film ya maap maap aja, pengetahuan film gua setara kaya anak kelas 3 SD. Serius. Katakanlah seorang Ilyas Muttaqin jarang banget nonton film, untuk 2-3 jam duduk manis fokus ke layar itu bukan hal yang mengenakan bagi gua. Sebuah prestasi bagi gua bisa duduk manis merhatiin layar, salah salah tangan gua bisa ngembat kursi elu yang duduknya di samping gua, atau kaki gua nyenggol dengkul elu karena gua yang lagi pengen regangin kaki karena sempitnya kabin bioskop. Ya gitu. Makanya jarang ada yang ngajak nonton gua. Jarang nonton bioskop ini yang bikin gua jadi kudet dan tak menahu soal film terkini, termasuk masalah materi juga sih, makanya gua jadi lemah gini soal perkembangan film.

Ceritanya, sehabis balik kuliah malem malem, di kosan lagi rame tuh ngegelar nobar, gua yang awalnya ngerasa capek banget minta ampun udah ngerencanain tuh buat langsung tidur. Eh tapi lucu gak sih, emang capek diapain sampe minta ampun gitu? ahahaha kasian banget si capek ga di apa apain sampe minta ampun gitu. Pas istirahat bentar sambil basa basi, ternyata mereka lagi nonton film ada apa dengan cinta. Gua sih sejujurnya udah familiar sama judul filmnya, tapi sekedar tau nama doang, mana tau gua yang namanya Cinta sama Rangga. Duduk, duduk, istirahat, duduk, istirahat ga terasa tuh ternyata gua ikut hanyut ngikutin alur filmnya. Dan ternyata seru. Fyi, yang gua tonton AADC 2. Emang dasarnya cowo, ada aja iringan komentar sepanjang film.

Komentar ala abi-abi yang khawatir kalau istrinya kelak selingkuh macam Cinta:
"Gila, ngeri gua kalo nanti udah punya istri ngebolehin dia ikut reonian, ngeri selingkuh, boy!"

Atau, kekaguman kaum adam terhadap sosok Rangga:
"Seettt liat ni abis ini si Rangga, pinter banget ngelobby nya"

ditambah, komentar yang seharusnya tak diucapkan di muka umum:
"Yaelah sok sok marah lu, ujung ujungnya cipokann ae"

Semua itu gua konsumsi sampe film nya abis. Karena diantara kita ga ada yang ganteng (sebut aja ga pernah bisa punya pacar), maka film ini jadi rujukan masalah cinta banget! semacam sugesti dokter kepada pasiennya. Itu yang dialamin oleh gua pada khususnya. Tepat di malam itu juga gua mimpi tentang AADC, fix inimah, gua kira siapa, ternyata AADC yang udah jadi pengganggu mimpi mimpi gua. Belom puas karena langsung nonton episode 2, gua langsung nonton episode pertamanya. eh tapi, setelah gua liat liat di internet. Ternyata banyak juga yah serial tentang AADC ini. Ada apa dengan cinta yang versi youtube yang di produksi sama line juga bikin kaget gua, demam AADC yang telat ini ternyata bikin sadar gua kalo dulu pas SMA yang lain pada ngejoke tentang purnama ternyata asalnya dari sini. Sebagai penikmat sekaligus produsen tawa, dulu iya iya aja gua soal purnama, 3 tahun kemudian gua baru tau kalo ternyata itu dari serial dramanya  Nic aka Rangga di youtube. Hadeeeeeeeeuh



Tentang Seseorang

Ku lari ke hutan, kemudian menyanyiku
Ku lari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi-sepi dan sendiri
Aku benci

Aku ingin bingar,
Aku mau di pasar
Bosan Aku dengan penat,
Dan enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika Ku sendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai,

biar mengaduh sampai gaduh,
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih,
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya, biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan lalu belok ke pantai?
Ada apa dengan cinta bener bener membawa gua melintasi ruang dan waktu. Selesai nonton AADC yang pertama, gua langsung searching semua soal AADC di google. Dari mulai kecantikan Ladya Cheril sampe Mira Lesmana (yang gua baru tau) itu ternyata seorang wanita juga gua kepoin, pokoknya gua bener bener telat banget demam AADC nya! abis gimana yah, sebagai seorang remaja dan pernah merasakan nuansa putih abu juga gua bener bener meng-amini gitu setiap dialognya. Bahkan, gua yang secara ga langsung suka kata kata dan sastra juga jadi demen puisi dan terinspirasi, kalo jatuh cinta 'lagi' nanti, bakal gua kirimin puisi dah cewe nya! bener bener menghipnotis. Diri gua jadi serasa di hakimi, belasan pertanyaan mengapa dan seandainya soal cinta yang dulu pernah gua alamin mendadak muncul lagi. Mengapa yah dulu kok gua menjijikan banget di mata cewe cewe? seandainya gua ga ngelarang ini itu, pasti deh doi gak ngejauh. Terus aja begitu, ada apa dengan cinta sukses bikin tiap waktu gabut gua belakangan ini ke isi dengan romansa cinta yang dahulu telah padam, kini kembali jadi menggelora.


Ada Apa Dengan Cinta?

perempuan datang atas nama cinta
bunda pergi karna cinta
digenangi air racun jingga adalah wajahmu
seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan

ada apa dengannya
meninggalkan hati untuk dicaci
lalu sekali ini aku melihat karya surga
dari mata seorang hawa

ada apa dengan cinta
tapi aku pasti akan kembali
dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
bukan untuknya, bukan untuk siapa
tapi untukku
karena aku ingin kamu,itu saja.



Jumat, 07 April 2017

STAGNANSI ORGANISASI MAHASISWA

Saya termasuk orang yang menyenangi organisasi dan cenderung untuk tidak mensegmentasikan organisasi yang akan saya tuju. Dari mulai organisasi berbau agama, nasionalisme, sosialisme, cendekiawan hingga organisasi ekstra yang tabu di kalangan mahasiswa pun sudah saya cicipi. Berbeda-beda rasa dan aromanya. Ada yang harum diluar dan busuk di dalam, atau ada yang pahit dari luar tapi manis di dalam. Beragam memang. Disini saya bisa menyimpulkan bahwa, opini yang berserakan serta doktrin senior kampus kepada para mahasiswa baru terkait macam-macam sifat organisasi perlu dibuktikan sendiri oleh diri anda dengan cara masuk ke dalamnya. Karena, merasakan sekali itu lebih baik daripada melihat seribu kali.

Tapi kesedihan mendalam sedang menghinggapi diri saya. Mengapa berbagai organisasi yang telah saya tekuni dan cukup saya cintai ini berjalan stagnan dan mengarah kepada hal yang membosankan? Saya tidak lagi menyebut satu atau dua organisasi, tapi organisasi secara umum. Beberapa hal yang ingin saya kritisi adalah:

Program kerja
Kebanyakan para ketua lembaga atau ketua departemen terlalu terpaku pada Laporan Pertanggung Jawaban tahun sebelumnya sehingga rasa dari organisasi tersebut tak ubahnya rasa kepengurusan periode sebelumnya. Miskin inovasi serta taklid buta menggerogoti tiap insan yang berada di naungan organisasi.  Entah terlalu malas  atau cenderung takut untuk mencari hal baru, yang jelas, jika pun ada terobosan baru paling hanya bisa diukur dengan jari tangan sebelah kanan saja.

Ketua organisasi
Saya termasuk orang yang mempercayai, bahwa selalu ada kekuatan besar dibalik naiknya seseorang ketika mendapatkan tahtanya. Terlalu keji memang jika saya menyatakan bahwa pimpinan lembaga=boneka para pemain di balik layar nya. Bisikan para pembisik serta qiyadah atas dasar kebaikan bagi orang banyak sering melatari keputusan yang lahir dari para pemangku kebijakan. Ketua organisasi telah hilang rasa kedaulatannya atas lembaga yang dipimpinnya. Tak salah memang jika hanya sekedar mendengar nasihat, tapi jika nasihat tersebut sudah tercemar dengan tekanan dan paksaan tentu itu bukan hal yang menyehatkan. Maka kata yang pantas untuk diucapkan bagi para dalang tersebut adalah, “sudahlah wahai penghuni langit, ini bukan jamanmu lagi, biarkan adik adikmu ini berkarya”.

Kepala departemen/biro
Jika masalah tadi berada di pucuk pimpinan lembaga, maka hal selanjutnya menghinggapi hierarki dibawahnya, yaitu kepala departemen atau biro. Buntut adanya program kerja yang tertulis adalah keterpakuan seseorang Kadept. Untuk menuntaskan semua amanah yang telah tertulis di dalam program kerja. Jika hal tersebut bukan berada dibawah naungannya, maka para kadept. Pun enggan untuk turut mensukseskannya. ‘Bukan tanggung jawab gua’ ucapnya. Masa bodoh dengan program kerja lain, intinya amanah yang telah di bebankan di pundak saya bisa saya jalankan semua. Beginilah ciri kejumudan dari insan terkini abad 21. Asik sendiri dengan dunianya, hingga lupa kunci terbesar dalam menggemgam kesuksesan organisasi terletak pada sinergitas antar departemen nya.

Staff
Walaupun menduduki hierarki paling bawah diantara yang lain, namun keberadaan staff tidak bisa di pandang sebelah mata dalam keberadaan organisasi. Proses kaderisasi dimulai dari tingkatan staff yang mana ketika seorang staff mampu bekerja dengan seluruh jiwa raganya maka dapat dipastikan ia pun akan mendapatkan kepercayaan khalayak kedepannya untuk menduduki posisi yang lebih tinggi lagi. Menurut buku Cracking Values karya Rhenald Kasaly, jika dianalogikan seorang staff adalah penumpang  dan pimpinannya adalah pengemudinya, maka seorang staff haruslah mempunyai pemahaman seperti layaknya pengemudi: tahu apa yang berada di depan, dapat merasakan tekanan kopling dan suatu saat mampu mengendarai kendaraan jika sewaktu-waktu sang pengemudi terserang kantuk. Staff yang baik bukan hanya duduk nyaman saja hingga tempat akhir tujuan! Alih-alih dapat merasakan serta mendukung keberadaan pengemudi, justru seorang staff seringkali menjadi duri dalam daging dari organisasi tersebut. Kuantitas yang banyak tidak menjadikan ia berkualitas, tapi hanya terkesan sebagai buih di lautan.


Demikian beberapa penyebab stagnansi organisasi di kalangan mahasiswa yang menjadi kerisauan saya pribadi. Jika ini tidak benar, bahagialah saya, karena mungkin semua ini hanyalah kerisauan semu belaka. Selagi masih memasuki tahap awal alur kaderisasi dan baru melangkah beberapa tahap, tak ada salahnya untuk sama sama mengevaluasi diri. Bukan untuk saya, ataupun untuk anda, tapi untuk orang-orang diluar sana yang akan mendapatkan manfaat dari keberadaan organisasi kemahasiswaan yang kita bangun. 

Anak masjid yang miskin mentalnya

Beberapa waktu lalu, salah seorang teman saya berkelakar untuk tidak mengikuti acara inagurasi Fakultas angkatan 2016. Alasannya? Beliau berkata karena acara tersebut banyak maksiatnya. Sontak saya yang menjadi bagian penting di kepanitiaan acara tersebut pun langsung terpantik untuk memperingatkan beliau untuk datang. Lucu memang, perlu diketahui bahwa beliau merupakan salah satu yang rajin ibadahnya dan senantiasa meramaikan masjid di tiap waktu sholat. Pribadinya juga bisa dikatakan sholeh dan terbebas dari pergaulan yang kekinian. Tapi apa daya, keimanan yang kuat pun ga menjamin seseorang untuk terbebas dari ke egoisan mengusai surga seorang diri. Surga itu luas, saya rasa terlalu naif kalau menikmatinya hanya sendirian.

Pada dasarnya, saya berterimakasih kepada teman saya tersebut karena berkat kelakarnya saya bisa menulis tulisan ini. Tulisan ‘menuju’ dakwah, tulisan yang sebenernya bisa lebih banyak mengajak para aktifis masjid untuk melihat dunia di sekelilingnya akan kenyataan yang terjadi. Dunia yang ga hanya dibatasi oleh batas suci dan ikhwan-akhwat aja, tapi juga dunia yang diciptakan oleh Allah Swt untuk tempat tinggal manusia. Jauh beberapa puluh tahun lalu, Soekarno sudah sangat tertarik dengan kehidupan ummat islam di indonesia; mereka yang hanya bisa mengaji, mereka yang percaya pada hal-hal takhayul, mereka yang memakai sarung tiap berangkat ke surau ataupun mereka yang menolak perubahan dunia dan arus modernisasi. “Sontoloyo!” ucap Bapak pendiri bangsa ini kepada ummat islam, bahkan ungkapan “kaum kolot” pun lebih dari 20x terucap untuk menggambarkan ummat islam yang pada masanya menolak untuk menghadapi realitas zaman yang sudah berkembang. Maka tak heran bila saya langsung terpantik ketika hal yang seharusnya sudah di kritik habis semenjak puluhan tahun lalu itu muncul kembali di hadapan saya.

Sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk berdakwah. Apalagi, dengan beban status ‘mahasiswa’ seharusnya kita bisa memperluas objek dakwah kita, dakwah bukan hanya untuk mereka yang berada di atas dibawah kubah dan di depan mimbar. Tapi dakwah adalah milik semua manusia. Mereka yang biasanya berada di tongkrongan sambil ngudud, mereka yang biasanya berpojokan dengan lawan jenisnya ataupun mereka yang tidak mempercayai adanya tuhan itulah yang idealnya menjadi objek dakwah sesungguhnya dari para anak mesjid ini. Alasan klasik mereka yang enggan untuk mendakwahi kaum ‘seperti ini’ adalah karena takut terbawa arus ataupun takut karena bekal imannya belum cukup. HALAH! Omong kosong, lantas apalah artinya semua amalan sunnah yang kalian kerjakan? Ketika semua orang pulang dari masjid, kalian lanjut mendirikan sunnah. Ketika semua asik dengan kegiatan muamalahnya, kalian khusyu mendengar kajian di masjid. Mau sampai kapan menunggu sempurna imannya? Bukankah manusia tak ada satupun yang sempurna?


Saya percaya, jika semua anak masjid sudah berani melebarkan sayap dakwahnya hingga ke tataran akar rumput, maka sholat dzuhur yang biasa diadakan di masjid fakultas pun akan seramai sholat jumat. Jamaah nya pun akan beragam, dari yang nafasnya pekat bau rokok hingga mantan pengumbar paha mulus pun akan ikut meramaikan masjid. Kesan eksklusif anak masjid yang bercelana cingkrang dan berdiksi ‘ane-ente’ pun akan bias. Jika Allah menghendaki.