Jumat, 07 April 2017

STAGNANSI ORGANISASI MAHASISWA

Saya termasuk orang yang menyenangi organisasi dan cenderung untuk tidak mensegmentasikan organisasi yang akan saya tuju. Dari mulai organisasi berbau agama, nasionalisme, sosialisme, cendekiawan hingga organisasi ekstra yang tabu di kalangan mahasiswa pun sudah saya cicipi. Berbeda-beda rasa dan aromanya. Ada yang harum diluar dan busuk di dalam, atau ada yang pahit dari luar tapi manis di dalam. Beragam memang. Disini saya bisa menyimpulkan bahwa, opini yang berserakan serta doktrin senior kampus kepada para mahasiswa baru terkait macam-macam sifat organisasi perlu dibuktikan sendiri oleh diri anda dengan cara masuk ke dalamnya. Karena, merasakan sekali itu lebih baik daripada melihat seribu kali.

Tapi kesedihan mendalam sedang menghinggapi diri saya. Mengapa berbagai organisasi yang telah saya tekuni dan cukup saya cintai ini berjalan stagnan dan mengarah kepada hal yang membosankan? Saya tidak lagi menyebut satu atau dua organisasi, tapi organisasi secara umum. Beberapa hal yang ingin saya kritisi adalah:

Program kerja
Kebanyakan para ketua lembaga atau ketua departemen terlalu terpaku pada Laporan Pertanggung Jawaban tahun sebelumnya sehingga rasa dari organisasi tersebut tak ubahnya rasa kepengurusan periode sebelumnya. Miskin inovasi serta taklid buta menggerogoti tiap insan yang berada di naungan organisasi.  Entah terlalu malas  atau cenderung takut untuk mencari hal baru, yang jelas, jika pun ada terobosan baru paling hanya bisa diukur dengan jari tangan sebelah kanan saja.

Ketua organisasi
Saya termasuk orang yang mempercayai, bahwa selalu ada kekuatan besar dibalik naiknya seseorang ketika mendapatkan tahtanya. Terlalu keji memang jika saya menyatakan bahwa pimpinan lembaga=boneka para pemain di balik layar nya. Bisikan para pembisik serta qiyadah atas dasar kebaikan bagi orang banyak sering melatari keputusan yang lahir dari para pemangku kebijakan. Ketua organisasi telah hilang rasa kedaulatannya atas lembaga yang dipimpinnya. Tak salah memang jika hanya sekedar mendengar nasihat, tapi jika nasihat tersebut sudah tercemar dengan tekanan dan paksaan tentu itu bukan hal yang menyehatkan. Maka kata yang pantas untuk diucapkan bagi para dalang tersebut adalah, “sudahlah wahai penghuni langit, ini bukan jamanmu lagi, biarkan adik adikmu ini berkarya”.

Kepala departemen/biro
Jika masalah tadi berada di pucuk pimpinan lembaga, maka hal selanjutnya menghinggapi hierarki dibawahnya, yaitu kepala departemen atau biro. Buntut adanya program kerja yang tertulis adalah keterpakuan seseorang Kadept. Untuk menuntaskan semua amanah yang telah tertulis di dalam program kerja. Jika hal tersebut bukan berada dibawah naungannya, maka para kadept. Pun enggan untuk turut mensukseskannya. ‘Bukan tanggung jawab gua’ ucapnya. Masa bodoh dengan program kerja lain, intinya amanah yang telah di bebankan di pundak saya bisa saya jalankan semua. Beginilah ciri kejumudan dari insan terkini abad 21. Asik sendiri dengan dunianya, hingga lupa kunci terbesar dalam menggemgam kesuksesan organisasi terletak pada sinergitas antar departemen nya.

Staff
Walaupun menduduki hierarki paling bawah diantara yang lain, namun keberadaan staff tidak bisa di pandang sebelah mata dalam keberadaan organisasi. Proses kaderisasi dimulai dari tingkatan staff yang mana ketika seorang staff mampu bekerja dengan seluruh jiwa raganya maka dapat dipastikan ia pun akan mendapatkan kepercayaan khalayak kedepannya untuk menduduki posisi yang lebih tinggi lagi. Menurut buku Cracking Values karya Rhenald Kasaly, jika dianalogikan seorang staff adalah penumpang  dan pimpinannya adalah pengemudinya, maka seorang staff haruslah mempunyai pemahaman seperti layaknya pengemudi: tahu apa yang berada di depan, dapat merasakan tekanan kopling dan suatu saat mampu mengendarai kendaraan jika sewaktu-waktu sang pengemudi terserang kantuk. Staff yang baik bukan hanya duduk nyaman saja hingga tempat akhir tujuan! Alih-alih dapat merasakan serta mendukung keberadaan pengemudi, justru seorang staff seringkali menjadi duri dalam daging dari organisasi tersebut. Kuantitas yang banyak tidak menjadikan ia berkualitas, tapi hanya terkesan sebagai buih di lautan.


Demikian beberapa penyebab stagnansi organisasi di kalangan mahasiswa yang menjadi kerisauan saya pribadi. Jika ini tidak benar, bahagialah saya, karena mungkin semua ini hanyalah kerisauan semu belaka. Selagi masih memasuki tahap awal alur kaderisasi dan baru melangkah beberapa tahap, tak ada salahnya untuk sama sama mengevaluasi diri. Bukan untuk saya, ataupun untuk anda, tapi untuk orang-orang diluar sana yang akan mendapatkan manfaat dari keberadaan organisasi kemahasiswaan yang kita bangun. 

0 komentar:

Posting Komentar