Saya termasuk orang yang menyenangi organisasi dan cenderung
untuk tidak mensegmentasikan organisasi yang akan saya tuju. Dari mulai
organisasi berbau agama, nasionalisme, sosialisme, cendekiawan hingga
organisasi ekstra yang tabu di kalangan mahasiswa pun sudah saya cicipi.
Berbeda-beda rasa dan aromanya. Ada yang harum diluar dan busuk di dalam, atau
ada yang pahit dari luar tapi manis di dalam. Beragam memang. Disini saya bisa
menyimpulkan bahwa, opini yang berserakan serta doktrin senior kampus kepada
para mahasiswa baru terkait macam-macam sifat organisasi perlu dibuktikan
sendiri oleh diri anda dengan cara masuk ke dalamnya. Karena, merasakan sekali
itu lebih baik daripada melihat seribu kali.
Tapi kesedihan mendalam sedang menghinggapi diri saya.
Mengapa berbagai organisasi yang telah saya tekuni dan cukup saya cintai ini
berjalan stagnan dan mengarah kepada hal yang membosankan? Saya tidak lagi
menyebut satu atau dua organisasi, tapi organisasi secara umum. Beberapa hal
yang ingin saya kritisi adalah:
Program kerja
Kebanyakan para ketua lembaga atau ketua departemen terlalu
terpaku pada Laporan Pertanggung Jawaban tahun sebelumnya sehingga rasa dari
organisasi tersebut tak ubahnya rasa kepengurusan periode sebelumnya. Miskin
inovasi serta taklid buta menggerogoti tiap insan yang berada di naungan
organisasi. Entah terlalu malas atau cenderung takut untuk mencari hal baru,
yang jelas, jika pun ada terobosan baru paling hanya bisa diukur dengan jari
tangan sebelah kanan saja.
Ketua organisasi
Saya termasuk orang yang mempercayai, bahwa selalu ada
kekuatan besar dibalik naiknya seseorang ketika mendapatkan tahtanya. Terlalu
keji memang jika saya menyatakan bahwa pimpinan lembaga=boneka para pemain di
balik layar nya. Bisikan para pembisik serta qiyadah atas dasar kebaikan bagi
orang banyak sering melatari keputusan yang lahir dari para pemangku kebijakan.
Ketua organisasi telah hilang rasa kedaulatannya atas lembaga yang dipimpinnya.
Tak salah memang jika hanya sekedar mendengar nasihat, tapi jika nasihat
tersebut sudah tercemar dengan tekanan dan paksaan tentu itu bukan hal yang
menyehatkan. Maka kata yang pantas untuk diucapkan bagi para dalang tersebut
adalah, “sudahlah wahai penghuni langit, ini bukan jamanmu lagi, biarkan adik
adikmu ini berkarya”.
Kepala departemen/biro
Jika masalah tadi berada di pucuk pimpinan lembaga, maka hal
selanjutnya menghinggapi hierarki dibawahnya, yaitu kepala departemen atau
biro. Buntut adanya program kerja yang tertulis adalah keterpakuan seseorang
Kadept. Untuk menuntaskan semua amanah yang telah tertulis di dalam program
kerja. Jika hal tersebut bukan berada dibawah naungannya, maka para kadept. Pun
enggan untuk turut mensukseskannya. ‘Bukan tanggung jawab gua’ ucapnya. Masa
bodoh dengan program kerja lain, intinya amanah yang telah di bebankan di
pundak saya bisa saya jalankan semua. Beginilah ciri kejumudan dari insan
terkini abad 21. Asik sendiri dengan dunianya, hingga lupa kunci terbesar dalam
menggemgam kesuksesan organisasi terletak pada sinergitas antar departemen nya.
Staff
Walaupun menduduki hierarki paling bawah diantara yang lain,
namun keberadaan staff tidak bisa di pandang sebelah mata dalam keberadaan
organisasi. Proses kaderisasi dimulai dari tingkatan staff yang mana ketika
seorang staff mampu bekerja dengan seluruh jiwa raganya maka dapat dipastikan
ia pun akan mendapatkan kepercayaan khalayak kedepannya untuk menduduki posisi
yang lebih tinggi lagi. Menurut buku Cracking Values karya Rhenald Kasaly, jika
dianalogikan seorang staff adalah penumpang
dan pimpinannya adalah pengemudinya, maka seorang staff haruslah
mempunyai pemahaman seperti layaknya pengemudi: tahu apa yang berada di depan,
dapat merasakan tekanan kopling dan suatu saat mampu mengendarai kendaraan jika
sewaktu-waktu sang pengemudi terserang kantuk. Staff yang baik bukan hanya
duduk nyaman saja hingga tempat akhir tujuan! Alih-alih dapat merasakan serta
mendukung keberadaan pengemudi, justru seorang staff seringkali menjadi duri
dalam daging dari organisasi tersebut. Kuantitas yang banyak tidak menjadikan
ia berkualitas, tapi hanya terkesan sebagai buih di lautan.
Demikian beberapa penyebab stagnansi organisasi di kalangan
mahasiswa yang menjadi kerisauan saya pribadi. Jika ini tidak benar, bahagialah
saya, karena mungkin semua ini hanyalah kerisauan semu belaka. Selagi masih
memasuki tahap awal alur kaderisasi dan baru melangkah beberapa tahap, tak ada
salahnya untuk sama sama mengevaluasi diri. Bukan untuk saya, ataupun untuk
anda, tapi untuk orang-orang diluar sana yang akan mendapatkan manfaat dari
keberadaan organisasi kemahasiswaan yang kita bangun.
0 komentar:
Posting Komentar