Jumat, 07 April 2017

Anak masjid yang miskin mentalnya

Beberapa waktu lalu, salah seorang teman saya berkelakar untuk tidak mengikuti acara inagurasi Fakultas angkatan 2016. Alasannya? Beliau berkata karena acara tersebut banyak maksiatnya. Sontak saya yang menjadi bagian penting di kepanitiaan acara tersebut pun langsung terpantik untuk memperingatkan beliau untuk datang. Lucu memang, perlu diketahui bahwa beliau merupakan salah satu yang rajin ibadahnya dan senantiasa meramaikan masjid di tiap waktu sholat. Pribadinya juga bisa dikatakan sholeh dan terbebas dari pergaulan yang kekinian. Tapi apa daya, keimanan yang kuat pun ga menjamin seseorang untuk terbebas dari ke egoisan mengusai surga seorang diri. Surga itu luas, saya rasa terlalu naif kalau menikmatinya hanya sendirian.

Pada dasarnya, saya berterimakasih kepada teman saya tersebut karena berkat kelakarnya saya bisa menulis tulisan ini. Tulisan ‘menuju’ dakwah, tulisan yang sebenernya bisa lebih banyak mengajak para aktifis masjid untuk melihat dunia di sekelilingnya akan kenyataan yang terjadi. Dunia yang ga hanya dibatasi oleh batas suci dan ikhwan-akhwat aja, tapi juga dunia yang diciptakan oleh Allah Swt untuk tempat tinggal manusia. Jauh beberapa puluh tahun lalu, Soekarno sudah sangat tertarik dengan kehidupan ummat islam di indonesia; mereka yang hanya bisa mengaji, mereka yang percaya pada hal-hal takhayul, mereka yang memakai sarung tiap berangkat ke surau ataupun mereka yang menolak perubahan dunia dan arus modernisasi. “Sontoloyo!” ucap Bapak pendiri bangsa ini kepada ummat islam, bahkan ungkapan “kaum kolot” pun lebih dari 20x terucap untuk menggambarkan ummat islam yang pada masanya menolak untuk menghadapi realitas zaman yang sudah berkembang. Maka tak heran bila saya langsung terpantik ketika hal yang seharusnya sudah di kritik habis semenjak puluhan tahun lalu itu muncul kembali di hadapan saya.

Sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk berdakwah. Apalagi, dengan beban status ‘mahasiswa’ seharusnya kita bisa memperluas objek dakwah kita, dakwah bukan hanya untuk mereka yang berada di atas dibawah kubah dan di depan mimbar. Tapi dakwah adalah milik semua manusia. Mereka yang biasanya berada di tongkrongan sambil ngudud, mereka yang biasanya berpojokan dengan lawan jenisnya ataupun mereka yang tidak mempercayai adanya tuhan itulah yang idealnya menjadi objek dakwah sesungguhnya dari para anak mesjid ini. Alasan klasik mereka yang enggan untuk mendakwahi kaum ‘seperti ini’ adalah karena takut terbawa arus ataupun takut karena bekal imannya belum cukup. HALAH! Omong kosong, lantas apalah artinya semua amalan sunnah yang kalian kerjakan? Ketika semua orang pulang dari masjid, kalian lanjut mendirikan sunnah. Ketika semua asik dengan kegiatan muamalahnya, kalian khusyu mendengar kajian di masjid. Mau sampai kapan menunggu sempurna imannya? Bukankah manusia tak ada satupun yang sempurna?


Saya percaya, jika semua anak masjid sudah berani melebarkan sayap dakwahnya hingga ke tataran akar rumput, maka sholat dzuhur yang biasa diadakan di masjid fakultas pun akan seramai sholat jumat. Jamaah nya pun akan beragam, dari yang nafasnya pekat bau rokok hingga mantan pengumbar paha mulus pun akan ikut meramaikan masjid. Kesan eksklusif anak masjid yang bercelana cingkrang dan berdiksi ‘ane-ente’ pun akan bias. Jika Allah menghendaki.

0 komentar:

Posting Komentar