Beberapa waktu lalu, salah seorang teman saya berkelakar
untuk tidak mengikuti acara inagurasi Fakultas angkatan 2016. Alasannya? Beliau
berkata karena acara tersebut banyak maksiatnya. Sontak saya yang menjadi
bagian penting di kepanitiaan acara tersebut pun langsung terpantik untuk
memperingatkan beliau untuk datang. Lucu memang, perlu diketahui bahwa beliau
merupakan salah satu yang rajin ibadahnya dan senantiasa meramaikan masjid di
tiap waktu sholat. Pribadinya juga bisa dikatakan sholeh dan terbebas dari
pergaulan yang kekinian. Tapi apa daya, keimanan yang kuat pun ga menjamin
seseorang untuk terbebas dari ke egoisan mengusai surga seorang diri. Surga itu
luas, saya rasa terlalu naif kalau menikmatinya hanya sendirian.
Pada dasarnya, saya berterimakasih kepada teman saya
tersebut karena berkat kelakarnya saya bisa menulis tulisan ini. Tulisan
‘menuju’ dakwah, tulisan yang sebenernya bisa lebih banyak mengajak para
aktifis masjid untuk melihat dunia di sekelilingnya akan kenyataan yang
terjadi. Dunia yang ga hanya dibatasi oleh batas suci dan ikhwan-akhwat aja,
tapi juga dunia yang diciptakan oleh Allah Swt untuk tempat tinggal manusia.
Jauh beberapa puluh tahun lalu, Soekarno sudah sangat tertarik dengan kehidupan
ummat islam di indonesia; mereka yang hanya bisa mengaji, mereka yang percaya
pada hal-hal takhayul, mereka yang memakai sarung tiap berangkat ke surau
ataupun mereka yang menolak perubahan dunia dan arus modernisasi. “Sontoloyo!”
ucap Bapak pendiri bangsa ini kepada ummat islam, bahkan ungkapan “kaum kolot”
pun lebih dari 20x terucap untuk menggambarkan ummat islam yang pada masanya
menolak untuk menghadapi realitas zaman yang sudah berkembang. Maka tak heran
bila saya langsung terpantik ketika hal yang seharusnya sudah di kritik habis
semenjak puluhan tahun lalu itu muncul kembali di hadapan saya.
Sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban bagi kita
untuk berdakwah. Apalagi, dengan beban status ‘mahasiswa’ seharusnya kita bisa
memperluas objek dakwah kita, dakwah bukan hanya untuk mereka yang berada di
atas dibawah kubah dan di depan mimbar. Tapi dakwah adalah milik semua manusia.
Mereka yang biasanya berada di tongkrongan sambil ngudud, mereka yang biasanya
berpojokan dengan lawan jenisnya ataupun mereka yang tidak mempercayai adanya
tuhan itulah yang idealnya menjadi objek dakwah sesungguhnya dari para anak
mesjid ini. Alasan klasik mereka yang enggan untuk mendakwahi kaum ‘seperti
ini’ adalah karena takut terbawa arus ataupun takut karena bekal imannya belum
cukup. HALAH! Omong kosong, lantas apalah artinya semua amalan sunnah yang
kalian kerjakan? Ketika semua orang pulang dari masjid, kalian lanjut
mendirikan sunnah. Ketika semua asik dengan kegiatan muamalahnya, kalian khusyu
mendengar kajian di masjid. Mau sampai kapan menunggu sempurna imannya?
Bukankah manusia tak ada satupun yang sempurna?
Saya percaya, jika semua anak masjid sudah berani melebarkan
sayap dakwahnya hingga ke tataran akar rumput, maka sholat dzuhur yang biasa
diadakan di masjid fakultas pun akan seramai sholat jumat. Jamaah nya pun akan
beragam, dari yang nafasnya pekat bau rokok hingga mantan pengumbar paha mulus
pun akan ikut meramaikan masjid. Kesan eksklusif anak masjid yang bercelana
cingkrang dan berdiksi ‘ane-ente’ pun akan bias. Jika Allah menghendaki.
0 komentar:
Posting Komentar